Resensi Novel “Surya, Mentari dan Rembulan

www.instagram.com/chosi17

Buah itu diyakini oleh warga Kampung Waka’ sebagai buah dewata, buah yang dibawa turun dari kayangan oleh Putra Puang Tambora Langi’ sebagai bekal pengembaraannya di bumi. Siapa sangka biji buah itu jatuh ke tanah Gunung Napo. Sehingga tumbuhlah buah dewa itu diatas bumi dengan nama buah Tomendoyang.
Konon buah itu diyakini bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Sehingga banyak orang memburu buah itu. Namun sayang, tidak semua orang bisa mendapatkannya. Mengapa?
Di lain pihak, orang-orang juga saling berburu emas hitam. Memang, Tana Toraja terkenal dengan emas hitamnya. Emas hitam itu berharga mahal di luar negri. Emas hitam itu adalah biji kopi Toraja. Kopi yang sangat digemari oleh Bangsa-bangsa Eropa. Sehingga para petani kopi di Tana Toraja saling bersaing. Berbagai cara mereka lakukan untuk bisa bekerjasama dengan pihak Belanda agar kopi mereka laku. Sehingga akhirnya muncullah Perang Kopi antara masyarakat Tana Toraja dan bangsa Belanda.
Adalah seorang anak muda bernama Surya. Seorang penggembala kerbau di Kampung Waka’. Dengan beberapa temannya, ia melalui hari-harinya yang indah sebagai penggembala kerbau milik Ne’ Bua’. Hubungan percintaannya dengan gadis bernama Mentari turut memperindah kisah mereka dalam novel ini.
Suatu hari datanglah orang Belanda ke Kampung Waka’ untuk keperluan penelitian. Kedatangannya disambut hangat oleh warga. Sesuai aturan adat, dosen dari Belanda bernama Rob Jasen itu diwajibkan untuk memetik buah Tomendoyang di Gunung Napo. Akibat kesalahannya, Rob Jasen tidak mampu mendapatkan buah dewata itu. Hal ini akhirnya menjadi pemicu munculnya konflik di sepanjang cerita dalam novel Surya, Mentari dan Rembulan.
Penculikan Mataallo oleh beberapa komplotan penjahat, membuat Surya harus berangkat ke Pulau Jawa untuk menemukan adik kandung Mentari itu. Ia dan teman-temannya tergabung dalam Tim Elang Napo. Mereka bertugas menyelidiki keberadaan Mataallo dan mencarinya hingga ketemu.
Sesampai di Pulau Jawa, tepatnya di Kota Jogjakarta, Mataallo belum juga ditemukan. Dalam pencariannya itu, Surya berkenalan dengan seorang gadis Bangsawan Jawa bernama Jeng Endah. Jeng Endah yang memiliki nama panggilan Rembulan berhasil menyita perhatian Surya. Membuat darah muda dalam tubuh Surya mengalir deras dan jantungnya berdegup tak karuan ketika berdekatan dengan gadis Bangsawan Jawa itu. Di lain pihak, ayah Rembulan mulai menyukai Surya dan memberikan “lampu hijau” akan hubungan mereka.
Akankah cinta Surya berlabuh di hati Rembulan? Apa hubungan Ayah Rembulan dengan pencarian Mataallo? Akankah Surya melupakan kekasihnya Mentari yang setia menunggunya di Kampung Waka? Akankah Surya bersedia menukar dirinya dengan Mataallo untuk berangkat ke Nepal? Temukan jawabannya dalam novel ini.
Setelah membaca novel ini, wawasan saya tentang kebudayaan Indonesia menjadi bertambah. Ternyata setiap daerah di Indonesia memiliki ciri khas masing-masing. Dan itu terwakili didalam novel ini.
Novel setebal 539 halaman ini, bisa saya bagi kedalam tiga bagian utama. Tiga bagian yang berisi tiga kebudayaan. Kebudayaan Tana Toraja (pada bab 1 – 11), kebudayaan Jogjakarta (pada bab 12 – 20) dan kebudayaan Nepal (pada bab 21-22). Nilai-nilai budaya itu dibungkus sangat bagus dalam sebuah cerita fiksi bergenre romantisme anak muda.
Ritual dan upacara Rambu Solo’ serta kehidupan sosial masyarakat Tana Toraja dibahas secara rinci pada bagian pertama novel. Bagian kedua novel menceritakan kebudayaan Jogjakarta yakni Tari Sakral Bedhaya Semang serta adat istiadat Jogjakarta. Bagian ketiga membahas kebudayaan dan tempat-tempat yang indah di Nepal yang diceritakan dalam kisah pendakian Surya menuju Puncak Sagarmatha.
Di beberapa bab dalam novel bertebaran catatan kaki. Tidak mengganggu, namun membantu kita dalam memahami alur cerita novel. Saat pertama kali membaca novel ini, saya pribadi kurang begitu paham dengan alur cerita karena munculnya kata-kata dalam bahasa Toraja. Namun setelah membaca catatan kaki dan menghabiskan 38 halaman, saya mulai bisa memahami alur cerita yang disajikan dalam novel.
Novel tulisan Sili Suli ini mendapat banyak apresiasi dari beberapa kalangan. Sutradara film, rektor Unesa Surabaya, kalangan wartawan dan pendeta, pengamat Intelijen hingga Gusti Kanjeng Ratu Hemas ikut hadir dalam peluncuran novel yang diadakan di Jogjakarta.
Novel dengan cover dominan berwarna biru muda dan siluet Tongkonan ini bisa menjadi salah satu bacaan yang menghibur. Namun ibarat makanan, rasa tidak pernah bohong. Semua kembali ke selera pembaca.
Buku yang bagus adalah buku yang bisa mempengaruhi pikiran dan menambah wawasan pembacanya. Dan itu akan kita temukan dalam novel Surya Mentari dan Rembulan. Akhirnya, selamat menikmati uniknya kebudayaan Tana Toraja, nyamannya Kota Jogjakarta serta indahnya Pegunungan Nepal.

Salam…

Judul Novel : Surya, Mentari dan Rembulan
Tahun Terbit : 2019
Tebal : 469 halaman

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *