Siriraj Bimuksthan

n
Kepada Buddha yang berharga, kepada Dharma yang berharga
Kepada Sangha yang berharga, berilah aku petunjukmu
***
Dalam gerimis yang cukup pekat, malam itu Kamlai Ratchada terlihat sangat sibuk. Dua orang pasien sedang menunggu gilirannya.
“Ambilkan forcep, cepat!”
“Ini Bu.”
Darah segar jatuh menetes membasahi lantai klinik.
“Sakit…” rintih wanita itu dengan peluh membanjiri kening hingga lehernya.
“Urus wanita ini, aku akan menangani pasien berikutnya.” ucap Kamlai Ratchada dari balik masker hijau dengan nada yang dingin.
Kamlai Ratchada membersihkan tangannya menggunakan desinfektan dan mengganti sarung tangan yang baru, ia berjalan menuju meja kerjanya. Dalam penerangan lampu yang remang-remang, ia berbicara dengan pasiennya yang lain. Seorang wanita yang masih sangat muda.
“Pacarku tidak mau bertanggungjawab, aku mau janin ini disingkirkan.”
“Kamu yakin?”
“Sangat yakin.”
Kamlai Ratchada menghisap kembali batang rokoknya yang menyala merah terang. Membuat sedikit ruangan dipenuhi asap rokoknya. Akhirnya wanita muda itu menjalani operasi pengguguran janin. Ia menderita cukup hebat di bagian perutnya saat Kamlai Ratchada menyuntikkan cairan kedalam urat nadinya.
“Tahan, tarik napasmu. Kau harus bertahan atau kau akan mati bersama bayimu.” ucap Kamlai Ratchada. “Suster, ambilkan tabung oksigen, wanita muda ini kesulitan bernafas.”
Masa kritis itu akhirnya berhasil mereka lalui. Wanita muda itu terlihat tenang. Lalu Kamlai Ratchada perlahan-lahan menarik sesuatu keluar dari dalam tubuh si wanita. Sebuah janin bayi yang berwarna kemerahan.
“Cantik sekali kau,” ucap Kamlai Ratchada.
***
Kamlai Ratchada kini tidak muda lagi. Di usianya yang ke 54 tahun, ia telah memiliki segalanya. Sebagai seorang dokter spesialis kulit di Rumah Sakit Siriraj, namanya kian populer di kalangan wanita muda yang ingin tampil cantik. Ia kini menjabat sebagai salah satu anggota direksi Rumah Sakit Siriraj dan dipercaya untuk mengelola sebuah museum kesehatan milik rumah sakit itu. Siriraj Medical Museum.
Beberapa bulan setelah museum kesehatan itu dibuka untuk umum, museum itu menjadi terkenal di masyarakat dan turis asing yang berkunjung ke Bangkok. Tak terkecuali mahasiswa kedokteran Universitas Chulalongkorn. Mereka berkunjung ke museum untuk melakukan penelitian di Siriraj Medical Museum.
Didalam Siriraj Medical Museum telah berkumpul para mahasiswa dan dua orang dosen. Mahasiswa itu sibuk mendengarkan dan mencatat arahan dosen mereka.
“Apa? Janin bayi yang diawetkan?” pekik Sukhonn Preeyanuch pelan.
“Kamu takut? Atau kamu mau meneliti tubuh pembunuh berantai Si Quey?”
“Khun Maeee. Kamu jangan membuatku takut!” ucap Sukhonn Preeyanuch sambil mencubit lengan Khun Mae.
Kelompok Khun Mae akhirnya bergerombol di area janin bayi. Didalam kotak display terpajang puluhan janin bayi dalam berbagai kondisi yang telah diawetkan dalam kotak kaca berisi cairan alkohol. Kembar siam dempet perut, kembar siam dempet kepala, sebuah janin berkepala dua hingga janin yang mengalami kelainan hidrosefalus.
Khun Mae berjalan mengitari meja display. Ia mulai mencatat apa yang ia amati didepannya. Kondisi janin, tahun diawetkan, penyebab kematian janin hingga nama janin. Semua data itu tidak terlewatkan satupun oleh Khun Mae. Sebab data inilah yang akan ia gunakan sebagai bahan pembuatan tugas akhir.
“Khun Mae, apakah kau sudah mendapatkan datanya?” suara Sukhonn Preeyanuch membuyarkan konsentrasinya.
Merasa sedikit terganggu, Khun Mae mulai membalas pertanyaan Sukhonn Preeyanuch temannya yang usil itu.
“Iya sudah. Apakah kau puas dengan jawabanku?” teriak Khun Mae pelan.
Suasana mendadak hening sesaat. Namun Khun Mae tidak menyadari hal itu.
“Khun Mae…”
………………
“Khun Mae…”
“Sukhonn, bisakah kau……”
Suara Khun Mae mendadak berhenti. Suaranya tercekat didalam tenggorokan. Tidak ada siapapun disana. Dari balik kaca berisi sebuah janin bayi, muncullah sesosok bayangan gadis kecil yang cantik.
“Kakak Khun Mae, tolong aku.” ucap gadis kecil itu.
Tubuh Khun Mae ambruk setelah gadis kecil itu berlari menuju arahnya. Setelah sadar, Khun Mae sudah berada diatas sebuah ranjang putih bersih.
“Apa yang terjadi padaku?” tanya Khun Mae. Sukhonn Preeyanuch mulai menjelaskan kronologi kejadian yang baru saja dialami oleh Khun Mae.
Sebelum meninggalkan museum, Khun Mae mengajak Sukhonn Preeyanuch untuk singgah sebentar di area janin bayi. Tanpa mengatakan alasannya kepada Sukhonn Preeyanuch, Khun Mae mengamati sekali lagi tempat tersebut.
“Tidak ada yang aneh.” gumam Khun Mae dalam hati.
Malam hari, Khun Mae tidur lebih awal. Ia merasa sangat lelah. Apalagi kejadian saat dirinya pingsan di Siriraj Medical Museum tadi siang, membuat energinya terkuras habis.
Selepas membaringkan tubuhnya diatas ranjang, antara sadar dan tidak sadar Khun Mae seolah didatangi oleh gadis kecil. Gadis kecil yang menyapanya di museum.
“Kakak Khun Mae, tolong aku.” ucap gadis kecil itu.
Khun Mae terkesiap. Ia terbangun. Tidak ada siapapun dikamarnya. Tubuhnya dipenuhi keringat dingin. Ia menyalakan lampu meja disebelah ranjangnya. Lalu ia minum segelas air dingin. Saat merasa sedikit lebih tenang, ia kembali melanjutkan tidurnya.
Keesokan paginya saat selesai kuliah, ia menemui Sukhonn Preeyanuch. Ia menceritakan semuanya kepada temannya itu.
“Sepertinya kau sedang diganggu oleh arwah.”
“Maksudmu? Kau jangan bercanda Sukhonn. Tidak pernah sekalipun dalam hidupku mengganggu orang lain.”
“Jangan bilang begitu. Mungkin menurutmu tidak pernah. Tapi bisa jadi kau pernah mengganggu orang lain tanpa kau sadari.”
“Terserah kamu saja Sukhonn.” jawab Khun Mae kesal. Lalu ia menyeruput latte panas perlahan-lahan.
“Aku bisa membantumu dalam hal ini.” ucap Sukhonn Preeyanuch.
“Apa yang bisa kau lakukan?”
Sore itu setelah pulang kuliah, mereka berdua berangkat menuju Wang Burapha Phirom. Sebuah distrik di sebelah Timur Sungai Chao Phraya. Taksi yang mereka tumpangi berjalan menuju jembatan Phra Phutta Yodfa. Sepanjang jembatan itu mereka bisa melihat Sungai Chao Phraya yang berwarna keemasan diterpa sinar matahari senja. Sangat indah. Setelah melewati Jl. Phra Pokklao, taksi mereka berbelok ke sebuah gang kecil.
“Tunggu kami setengah jam, Pak.” ucap Sukhonn Preeyanuch.
“Baik Nona.”
Sukhonn Preeyanuch mengajak Khun Mae menyusuri gang kecil padat penduduk itu. setelah sampai di belokan ketiga, mereka akhirnya masuk kedalam sebuah rumah. Mereka menemui Kriang Krai. Seorang dukun yang akan membantu mereka.
Cukup lama mereka berada didalam rumah kecil itu. Hingga akhirnya mereka keluar juga sambil membawa sebuah kain putih.
“Jadi aku harus menyiapkan semua permintaan dukun itu?”
“Benar, kau sendirilah yang harus menyiapkannya. Karena arwah janin bayi itu telah memilihmu Khun Mae!”
Khun Mae tertunduk lesu. Ia tidak menyangka akan mengalami hal aneh ini.
“Tenanglah Khun Mae, aku akan membantumu.” ucap Sukhonn Preeyanuch.
***
Sesuai hari yang dijanjikan oleh Kriang Krai, mereka berdua kembali lagi. Khun Mae menjalankan ritual boneka Luk Thep sesuai arahan si dukun. Sebelum mengadakan upacara memanggil arwah, Khun Mae telah memilih hari dan bulan yang baik. Dan saat itu adalah hari ini. Hari ulang tahunnya sendiri.
Khun Mae telah menyiapkan satu tas yang berisi pakaian bayi perempuan, satu telur yang sudah direbus dan satu ikan panggang yang sudah dibungkus rapi didalam kain. Dukun Kriang Krai meminta kepada Khun Mae supaya mengeluarkan isi tasnya dan membuka kain putih diatas meja sebagai alas meja. Ia menyuruh Khun Mae meletakkan pakaian bayi perempuan, telur dan ikan panggang diatas hamparan kain putih itu.
Lalu dukun Kriang Krai masuk kedalam kamarnya. Tak lama kemudian ia keluar sambil membawa sebuah boneka gadis kecil. Dukun itu menyerahkan boneka itu kepada Khun Mae untuk diberi pakaian. Khun Mae menjalankan perintah si dukun.
Setelah menyelesaikan tugasnya, Khun Mae menyerahkan kembali boneka itu kepada Kriang Krai. Kemudian Kriang Krai membaca mantra. Ia merajah boneka itu. Sebuah tulisan tergores secara ajaib diatas baju yang dikenakan oleh boneka. Lalu mereka menunggu. Menunggu kedatangan arwah si janin. Kehadiran Pimchan.
***
Kehidupan Khun Mae berubah drastis. Kini ia tidak sendiri. Ada Pimchan disisinya. Tentu saja hanya Khun Mae yang mampu melihat dan berbicara kepadanya. Mereka lebih banyak berkomunikasi melalui mimpi.
“Cepat kau makan sarapanmu Khun Mae.” ucap ibu Khun Mae pagi itu.
“Iya Bu,” jawab Khun Mae sedikit malas-malasan.
“Wajahmu pucat sekali Khun Mae. Apakah kau tidak tidur semalaman?”
“Aku tidur larut malam bu, ada sedikit laporan tugas akhir yang harus aku selesaikan.” jawab Khun Mae berbohong.
Fakta sebenarnya adalah bahwa Khun Mae malam itu tidak sedang mengerjakan tugas akhir. Namun malam itu ia bermimpi buruk sekali. Dalam mimpinya ia melihat banyak darah di lantai. Ia mendengar teriakan kesakitan wanita. Ia mendengar tangisan pilu para bayi yang meninggal sia-sia. Ia melihat Pimchan disana. Ia melihat Pimchan menangis di sisi seorang gadis muda yang sedang menjalani operasi pengguguran janin.
“Itu ibuku Kak Khun Mae,” ucap Pimchan dalam mimpi Khun Mae.
Khun Mae sontak terbangun. Napasnya tidak beraturan. Keringat dingin membasahi keningnya. Diraihnya ponsel disebelah bantalnya.
“Pukul 03.00.” gumam Khun Mae.
Lalu Khun Mae beranjak dari tempat tidurnya menuju lemari kecil. Ia membuka lemari dan mengambil boneka Luk Thep.
“Pesan apa yang ingin kau sampaikan padaku?” tanya Khun Mae kepada Pimchan sambil memeluknya. Tanpa Khun Mae sadari, boneka Luk Thep itu mengedipkan mata. Airmata jatuh dari kedua sudut bola matanya yang berwarna biru terang.
***
Khun Mae akhirnya bisa beristirahat sepuasnya sore itu. Tugas akhir miliknya mendapatkan nilai sempurna dari dosen pembimbingnya. Sebelum tidur, ia mencari Pimchan. Namun kali ini ia tidak menemukan Pimchan didalam lemari seperti biasanya. Pintu lemarinya sedikit terbuka. Khun Mae mulai cemas. Ia takut rahasia Pimchan akan terbongkar. Setelah cukup lama mengobrak-abrik kamarnya, Khun Mae akhirnya menemukan Pimchan diatas meja kecil di pojok kamarnya. Disebelah boneka itu terdapat secarik kertas. Khun Mae membuka dan membaca isinya.
Bawalah aku ke tepian Sungai Chao Phraya.
Tepat didepan Kuil Wat Arun.
Khun Mae merobek kertas itu. Ia memandang lekat-lekat mata Pimchan. Lalu ia mengangguk pelan.
Seperti mendengar sebuah bisikan gaib, Khun Mae melangkahkan kakinya dengan yakin begitu ia tiba di tepi Sungai Chao Phraya. Beberapa meter lagi ia bisa melihat gerbang utama Kuil Wat Arun.
Sore itu hujan gerimis. Langit tidak begitu gelap. Dari tempat Khun Mae berdiri, ia bisa dengan jelas melihat patung Sahassa Deja dan patung Thotsakan. Dua figur patung penjaga Kuil Wat Arun.
Seperti kebiasaannya, Khun Mae selalu menyempatkan diri untuk berdo’a ketika ia melihat Kuil Budha. Ketika ia melangkahkan kakinya memasuki gerbang kuil, ia tersandung sesuatu hingga membuat boneka Luk Thep terlepas dari tangannya. Khun Mae memungut boneka itu. Ia berjalan kembali. Kali ini ia memegang erat Luk Thep ditangannya. Kurang dari dua meter didepan gerbang kuil, tubuh Khun Mae terpental. Sebuah kekuatan seakan mendorongnya untuk menjauhi gerbang kuil.
“Kak Khun Mae, aku tidak diizinkan untuk masuk kedalam. Dua patung penjaga kuil menolak kehadiranku.” bisik Pimchan.
“Baiklah Pimchan, kita akan berdo’a disini saja. Kita tidak perlu masuk kedalam. Bukankah berdo’a hanya membutuhkan kehadiran hati kita dalam do’a yang kita panjatkan?”
Khun Mae lalu bersimpuh didepan gerbang kuil, dua tiga kali ia bersujud. Setelah ia membaca do’a, ia berdiri dan meninggalkan Kuil Wat Arun.
“Terimakasih Kak Khun.” bisik Pimchan. Khun Mae tersenyum.
Mereka berdua akhirnya sampai di tepi Sungai Chao Phraya. Sambil memeluk Pimchan, Khun Mae memandangi langit yang mulai gelap. Hujan perlahan berhenti, berganti dengan senja yang memerah. Permukaan Sungai Chao Phraya berubah seperti lautan darah. Berwarna-warni merah keemasan. Sangat indah.
Tiba-tiba tubuh Khun Mae bergetar hebat, sebuah kekuatan gaib memasuki alam sadarnya. Kini dihadapannya berjejer ratusan bayi yang bergerak terapung-apung dengan ari-ari yang menjulur melilit leher mereka. Tangan-tangan bayi itu menggapai-gapai ke udara. Kaki-kaki mereka meronta-ronta seolah ingin berlari meninggalkan tempat itu. Dalam keadaan yang penuh hiruk pikuk tangis bayi, Khun Mae menangis melihat apa yang nampak dihadapannya.
Pandangan Khun Mae mulai memudar. Airmata memenuhi kedua rongga matanya. Dalam kesamaran pandangannya, muncul sesosok bayangan yang berdiri secara perlahan. Dalam isak tangisnya, Khun Mae melihat sesosok bayangan yang terlihat mulai jelas. Seorang gadis kecil muncul diantara kerumunan bayi yang terapung-apung itu. Gadis kecil itu berdiri tegak. Gadis kecil yang pernah ia kenal sebelumnya. Ia tersenyum kepada Khun Mae.
“Phimchaaaan….” teriak Khun Mae.
Khun Mae tergeletak lemas di pinggir jalan di tepi Sungai Chao Phraya. Jalan itu nampak lengang. Tidak terlihat seorangpun disana. Selain hanya tubuh Khun Mae dan boneka Luk Thep miliknya.
Angin dingin berhembus menerpa wajah Khun Mae. Ia bangkit dari tempatnya. Berdiri di tepi Sungai Chao Phraya. Memandang permukaan sungai itu baik-baik. Tenang, sepi dan tidak ada lagi bayi-bayi yang terapung di sungai itu. Mereka telah lenyap entah kemana.
Saat hendak meninggalkan tempat itu, Khun Mae dikagetkan oleh sebuah mini van yang berhenti tak jauh dari tempatnya. Dari dalam mini van itu, Khun Mae melihat seseorang melempar sebuah bungkusan ke sungai. Lalu dengan cepat mini van itu pergi.
Khun Mae berlari menuju tempat dimana bungkusan itu terjatuh. Dalam riak gelombang air sungai, ia melihat sesuatu. Sebuah tangan bayi dan ari-ari yang perlahan tenggelam kedalam air. Khun Mae berlari mengejar mini van. Namun sayang, ia tidak mampu mengejarnya. Ia hanya bisa mengambil foto mini van itu dengan kamera ponselnya.
***
Bawalah aku ke tepian Sungai Chao Phraya.
Tepat didepan Kuil Wat Arun.
Hampir setiap hari Khun Mae menerima secarik kertas dengan pesan yang sama. Surat itu memiliki pola dan model tulisan sama persis dengan surat yang pertama kali ia temukan. Hal itu terjadi dalam beberapa minggu terakhir ini.
Merasa dirinya tertekan, Khun Mae pergi berdo’a di Kuil Wat Arun. Ia bersujud dibawah patung Budha. Menyalakan tiga batang dupa dan menancapkannya didalam bejana emas dibawah patung Budha.
Kepada Buddha yang berharga, kepada Dharma yang berharga
Kepada Sangha yang berharga, berilah aku petunjukmu
Merasa cukup lama ia berdo’a, Khun Mae meninggalkan kuil. Kali ini tanpa Pimchan. Boneka Luk Thep itu sengaja ia tinggalkan dirumah. Tiba-tiba Khun Mae dikagetkan oleh sebuah mobil mini van yang berhenti mendadak menimbulkan suara decitan ban mobil. Ia menoleh. Sesuatu tiba-tiba terlintas dalam pikirannya. Segera diambil ponsel miliknya. Ia buka galeri foto di ponselnya. Ada kemiripan diantara kedua foto itu.
“Mini van itu…” gumam Khun Mae dalam hati.
Dengan berjalan pelan, ia melihat dua orang keluar dari dalam mini van. Seorang lelaki dan seorang wanita paruh baya yang memakai seragam dokter.
Khun Mae berhenti dan berdiri tak jauh dari mereka. Lalu ia mengambil gambar mini van itu dari samping dan mencatat nomor polisinya. Setelah ia hafal betul wajah, Khun Mae pergi meninggalkan kuil.
“Siapa mereka? Apa yang mereka lakukan disini? Untuk apa mereka membuang janin bayi itu kemarin malam?” gumam Khun Mae dalam hati.
Malam ini Khun Mae tidak bisa tidur. Ia menyalakan laptop miliknya. Dengan ditemani secangkir latte panas, ia mulai menjelajahi dunia maya.
Lewat bantuan situs pencari gambar, ia mengunggah foto hasil jepretan kamera ponselnya. Betapa terkejutnya ia, puluhan gambar mini van serupa bertebaran di internet. Meskipun berbeda-beda pose, ada satu hal yang membuat mereka sama. Caption foto itu mengarah pada satu nama. Siriraj Bimuksthan. Khun Mae mencatat alamat tempat itu. Lalu ia tidur dengan Pimchan dalam pelukannya.
“Kak Khun Mae, bantu aku.” ucap Pimchan dalam mimpi Khun Mae.
Keesokan hari, setelah menyelesaikan mata kuliah terakhirnya, Khun Mae mendatangi Siriraj Bimukstan. Dengan bantuan google maps, ia dengan mudah menemukan alamat itu. Alangkah terkejutnya Khun Mae ketika mendapati bahwa Siriraj Bimuksthan berada dalam satu kompleks dengan Siriraj Medical Museum. Museum tempat ia berjumpa dengan Pimchan.
“Maaf, untuk apa anda menanyakan hal itu? Apa tujuan anda?” tanya seorang wanita muda yang merupakan resepsionis Rumah Sakit Siriraj Bimuksthan
“Saya adalah mahasiswa Universitas Chulalongkorn, saya membutuhkan informasi tersebut sebagai pelengkap data untuk tugas akhir saya.” jawab Khun Mae berbohong.
Nampaknya resepsionis itu masih meragukan kebenaran ucapan Khun Mae. Tapi Khun Mae tidak kehabisan akal. Dikeluarkannya kartu mahasiswa dari dalam dompetnya. Beberapa detik kemudian, resepsionis itu menyerah.
“Baiklah, apa yang bisa saya bantu?” tanya resepsionis itu.
Berbekal informasi yang ia dapat, Khun Mae mulai menyelidiki siapa sebenarnya Kamlai Ratchada. Apa saja sepak terjangnya di Rumah Sakit Siriraj Bimukstan hingga ia terpilih menjadi manajer pengelola Siriraj Medical Museum.
Beberapa hari ini Khun Mae disibukkan oleh Pimchan. Arwah janin bayi itu telah memenuhi kepalanya. Dalam mimpinya dan dalam kehidupan nyatanya, Khun Mae hanya memikirkan Pimchan. Ia berpikir keras bagaimana cara memecahkan pesan yang disampaikan oleh Pimchan lewat surat-suratnya.
***
Hari itu tidak ada kuliah. Pagi itu Khun Mae memutuskan untuk berjalan-jalan di tepi Sungai Chao Phraya. Pimchan seolah berbisik kepada Khun Mae agar mendatangi tempat itu.
Di tempat yang sama dimana mini van itu membuang bayi, Khun Mae mengamati dengan teliti permukaan Sungai Chao Phraya yang terlihat bening. Namun tidak ada yang berbeda. Semua nampak sama. Karena bosan, Khun Mae melempar sebutir kerikil berukuran kecil kedalam sungai. Air sungai bergolak. Khun Mae melihat sesuatu didalam dasar sungai itu. Untuk meyakinkan penglihatannya, ia melempar sebuah batu berukuran sebesar telapak tangan orang dewasa. Betapa terkejutnya ia saat melihat dasar sungai dipenuhi sesuatu yang gelap. Sesuatu yang ditimbulkan oleh sebuah benda, bukan karena pantulan bayangan sinar matahari. Tempat dimana jatuhnya batu itu, lebih gelap dari tempat yang lainnya. Khun Mae sekali lagi mengambil batu besar. Ia menyiapkan kamera ponselnya dalam mode ON, begitu batu itu ia lempar dan jatuh kedalam sungai, ia segera menekan tombol kameranya.
Karena hari masih pagi, Khun Mae memutuskan untuk kembali ke Siriraj Medical Museum. Ia mengunjungi museum itu untuk mengambil foto janin bayi yang diawetkan disana.
Sore hari sesampainya dirumah, Khun Mae mencetak file yang berhubungan dengan Kamlai Ratchada. Terutama data tentang riwayat pekerjaannya. Semua foto janin bayi hasil jepretan kamera ponselnya ikut ia cetak.
Dengan diantar Sukhonn Preeyanuch, Khun Mae membuat laporan tentang kasus pembunuhan bayi yang telah dilakukan oleh Kamlai Ratchada. Semua file dokumen dan file foto ia serahkan kepada pihak berwajib. Dua hari setelah laporan itu, Kamlai Ratchada dipanggil oleh pihak berwajib sebagai saksi. Ia mengakui bahwa Siriraj Medical Museum berada dibawah pengawasannya. Termasuk semua koleksi yang ada didalam museum itu. Namun ia menyangkal bahwa ia telah melakukan praktik operasi pengguguran janin ilegal seperti yang dituduhkan oleh Khun Mae kepadanya.
Seminggu setelah pemanggilan itu, semua koleksi Siriraj Medical Museum diamankan oleh pihak kepolisian Bangkok.
Tim ahli forensik diterjunkan untuk melakukan otopsi terhadap janin-janin bayi yang diawetkan dalam kotak kaca itu. Kepolisian Bangkok menemukan fakta yang mengejutkan, bahwa kematian janin-janin bayi itu sangat tidak wajar. Semua koleksi janin bayi itu meninggal akibat kulit mereka yang terbakar saat masih berada dalam rahim.
Berdasarkan hasil laporan tim ahli forensik, kepolisian Bangkok akhirnya melakukan penggeledahan dirumah Kamlai Ratchada. Sesuai dengan riwayat pekerjaannya, sebelum ia menjadi dokter spesialis kulit, ia pernah bekerja sebagai dokter bedah di rumah sakit yang sama. Jadi polisi menduga bahwa tidak menutup kemungkinan ia juga membuka praktik pengguguran janin ilegal dirumahnya.
Ternyata dugaan polisi benar, sejumlah alat untuk menggugurkan janin lengkap beserta meja operasinya ditemukan didalam ruangan di belakang rumah Kamlai Ratchada. Polisi juga menemukan beberapa botol berisi larutan garam kaustik yang biasa digunakan dalam praktik pengguguran janin. Larutan yang bisa membuat seorang bayi bernafas dengan cairan didalam plasenta yang membakar paru-paru dan sekaligus kulitnya. Sehingga penggunaan larutan ini sangat dilarang. Polisi menyimpulkan bahwa sebagian dari koleksi janin yang diawetkan di Siriraj Medical Museum adalah janin hasil praktek pengguguran janin ilegal Kamlai Ratchada. Dengan adanya bukti-bukti yang kuat, Kamlai Ratchada akhirnya ditangkap.
Setelah penangkapan Kamlai Ratchada, giliran Khun Mae yang dipanggil. Kepolisian Thailand memeriksanya sebagai saksi selama hampir satu jam. Lalu mereka mengantarkan Khun Mae menuju sebuah tempat yang diduga sebagai tempat pembuangan janin bayi. Sesampai di pinggir Sungai Chao Phraya, tepatnya didepan Kuil Wat Arun, sejumlah anggota kepolisian diterjunkan untuk menyelam ke dasar sungai. Tidak kurang dari setengah jam, mereka berhasil mengangkat puluhan kantung plastik hitam dari dasar sungai. Bau anyir menyebar ke udara. Seorang anggota kepolisian Bangkok membuka satu kantung plastik, ia menemukan sebuah janin bayi yang telah membusuk didalamnya. Daging janin itu hancur. Karena ikatan plastik sangat kuat dan ada batu pemberat didalamnya, daging janin bayi itu tidak sampai mengambang ke permukaan air.
Khun Mae menangis, ia tidak sanggup melihat mayat puluhan janin bayi didepannya. Siang itu ia diantar pulang oleh Sukhonn Preeyanuch setelah mendapatkan izin dari pihak kepolisian.
“Maafkan aku Pimchan, aku terlambat membaca pesanmu,” isak Khun Mae.
***
“Kak Khun Mae, terimakasih. Saatnya aku pergi Kak. Terimakasih atas semuanya.”
Malam itu Pimchan menemui Khun Mae dalam mimpinya. Pimchan terlihat sangat bahagia. Ia memeluk Khun Mae dan menjabat tangannya. Perlahan-lahan ia mulai menjauhi Khun Mae. Samar-samar hingga akhirnya menghilang ditelan kegelapan.
Pagi hari saat Khun Mae terbangun, ia melihat boneka Luk Thep telah berada disampingnya. Boneka itu memegang sebuah bunga mawar putih yang masih segar. Sebuah boneka Luk Thep biasa tanpa Pimchan didalamnya.
Simpan ditanganmu seikat bunga
Hatiku hanya untukmu
Bersama dengan bunga yang aku berikan padamu sebelum aku pergi.
Simpanlah dihatimu maka kau akan merasakan kehangatanku
Pimchan