Resensi buku The Socrates Express

Suka filsafat? Atau mungkin sekedar ingin menjalani hidup penuh makna dan tujuan? Buku ini bisa kita jadikan rujukan.
Ada tiga bagian utama yang dibahas adalam buku ini. Bagian satu : Fajar, bagian dua : Tengah hari dan bagian tiga : senja. Masing-masing bagian berisi pemikiran-pemikiran filosofis dari para ahli filsafat.
Bagian pertama buku ini menjelaskan tentang bagaimana cara kita menghadapi pagi hari kita. Beberapa pemikiran filsuf yang terkait hal ini diantaranya :
Marcus Aurelius.
Rebahan dulu atau bangun dengan penuh semangat. Kita sendirilah yang bisa menentukan arah hidup kita di pagi hari. Bukan “mengapa kita bangun?” tapi “untuk apa kita bangun?”. Dengan memahami hal ini, kita bisa mengawali pagi kita dengan penuh arti. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Marcus Aurelius, ia mendorong dirinya untuk berhenti berpikir dan langsung bertindak. Berhenti berpikir mendeskripsikan seperti apa orang baik itu. Jadilah orang yang baik.
Socrates
Setelah kita memahami makna “untuk apa kita bangun?”, langkah berikutnya adalah menumbuhkan rasa keingintahuan kita. seperti yang dijelaskan oleh Socrates. Keingintahuan, menurut Socrates bukan sesuatu yang kita miliki sejak lahir. Keingintahuan merupakan ketrampilan yang bisa kita pelajari. Hal ini sejalan dengan kebiasaan Socrates yang selalu menjawab pertanyaan dengan sebuah pertanyaan. Dengan menggunakan metode ini, rasa keingintahuan kita akan semakin besar.
Rosseau
Filsuf ini lebih menyukai kegiatan berjalan. Menurutnya, saat berjalan, dalam waktu yang bersamaan kita melakukan dan tidak melakukan. Pada suatu tahap pikiran kita sibuk, namun kesibukan ini tidak menghabiskan banyak ruang di dalam otak kita. Rosseau menyukai berjalan karena saat ia berjalan dan bergerak, pikirannya menjadi aktif. Sambil berjalan, ia mencatat pikiran-pikirannya. Mungkin kita bisa mencoba meniru gaya hidup aktif dengan berjalan ini. Karena akan membuat pikiran kita juga ikut aktif.
Thoreau
Menurutnya, sifat riil alam lebih menarik baginya. Ia lebih menghargai visi daripada pengetahuan. Karena pengetahuan bersifat tidak tetap dan tidak sempurna. Ia lebih mengandalkan panca indra daripada pengetahuan itu sendiri.
Schopenhauer
Ia lebih mengandalkan sikap pesimisme. Menurutnya, kita hidup di dunia terburuk dari semua dunia yang meungkin ada. Lebih buruk dari ini, dunia pun tidak ada. Dan ini tidaklah terlalu jelek. Hidup terasa paling bahagia ketika kita tidak mengacuhkannya sama sekali.
Bagian kedua buku ini membahas bagaimana cara kita menikmati hidup kita, memberikan perhatian pada hal-hal penting dalam hidup kita serta bagaimana cara menghargai hal-hal kecil dalam hidup ini.
Beberapa pemikiran filsuf yang terkait hal ini diantaranta :
Epicurus
Seorang penganut aliran Empirisme berpendapat jika raga manusia mengandung kebijaksanaan terbesar. Sehingga hanya indra kitalah yang pantas menjadi sumber pengetahuan bagi kita.
Simone Weil
Ia berpendapat jika perhatianlah satu-satunya yang bisa kita berikan. Menurutnya, perhatian tidak membutuhkan banyak hal. Orang yang memberikan perhatian penuh terhadap segala sesuatu, apapun itu, akan membuat kemajuan meskipun upayanya tidak menghasilkan buah yang kasat mata. Selain itu, melalui perhatian yang kita berikan kepada orang lain akan bisa mengubah hidup orang itu dan meluluhkan hatinya.
Mahatma Gandhi
Ia membenci kekerasan, namun ia lebih membenci sikap pengecut. Karena menurutnya, seorang pengecut bukanlah lelaki sejati. Pemikiran Gandhi tidak berorientasi pada hasil. Tapi proses.
Confucius
Dialah filsuf pertama yang menempatkan kebaikan dan cinta kasih pada puncak piramida. Ia juga berkata “Janganlah memaksakan kepada orang lain apa yang kau sendiri tidak inginkan”. Bagi Confucius, kebaikan hati dapat dipraktikkan. Sebarkanlah kebaikan kepada semua orang dan kau akan mampu memutarbalikkan dunia dalam genggamanmu. Kebaikan itu sulit karena semua yang bernilai pasti sulit.
Sei Shonagon
Ia merupakan filsuf kerapian sempurna. Menurutnya, sesuatu yang tidak rapi berarti tidak bagus sama sekali. Melenceng satu inchi sama dengan melenceng satu kilometer. Sesuatu tidak harus sempurna jika ingin disebut menyenangkan oleh Shonagon, tapi harus pantas. Harus sesuai suasana hati atau musim. Harus selaras dengan esesensinya.
Bagian ketiga buku ini membahas tentang bagaimana kita menjalani hidup tanpa penyesalan, menjadi tua dan menjalani kematian.
Beberapa pemikiran filsuf yang terkait hal ini diantaranta :
Epictetus
Epictetus terkenal dengan pemikiran stoikisme. Menilai sesuatu apa adanya tanpa memberi nilai apapun kepada sesuatu itu. Melihat hal yang terjadi di luar kendali diri sebagai hal yang tidak berpengaruh bagi diri kita. Semua itu bersifat netral.
Beauvoir
Filsuf ini menilai jika usia tua dapat menjadi masa untuk merasakan sukacita besar dan menghasilkan sesuatu dari kreativitas.
Montaigne
Menurutnya, kematian bukanlah sebuah bencana, melainkan sesuatu yang indah dan tak terhindarkan. “Alam akan memberitahumu yang harus dilakukan pada saatnya nanti, secara menyeluruh dan cukup. Ia akan melakukan pekerjaan yang sempurna untukmu. Jangan bebani pikiranmu dengan hal itu.” Terimalah kematian. Biarkan semua membimbingmu dalam kehidupan. Hingga saat kematian itu datang.
Begitulah ringkaan buku ini. Bukunya cukup tebal tapi bermanfaat sekali.
Selamat membaca.